KATASUMBAR – Kue Cangkiang merupakan industri skala rumahan yang ada di Jorong Cangkiang, Nagari Batu Taba, Kecamatan Ampek Angkek, Agam-Sumbar.
Kue Cangkiang terdiri dari berbagai jenis produk yang merupakan ciri khas wilayah ini sejak dahulu dan sudah menjadi semacam hidangan wajib saat ada acara adat.
Secara fisik, jajanan ini lebih berbentuk kue kering atau seperti kerupuk. Tapi penduduk lokal menyebutnya dengan kue.
Tak ada catatan pasti menyebut sejak kapan industri ini ada. Namun, data yang KATASUMBAR himpun, kemungkinan produksi pertamakali antara tahun 1800-1850an.
Enek Uniang Sang Penemu
Penemu Kue Cangkiang ini adalah seorang wanita tua bernama Enek Uniang.
Saat itu, di Cangkiang hiduplah seorang ulama besar yang kemudian menjadi Regent (Bupati) Agam Tuo Pertama. Namanya Fakih Shagir Syech Djalaluddin.
Penyebaran Islam sedang gencar-gencar terjadi di kawasan itu. Salah satu anak Fakih Shagir, Enek Uniang berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Ia pergi bertahun-tahun menggunakan kapal laut. Sepulang dari Mekkah, ia membuat berbagai olahan dari tepung beras dan pulut yang dicampur dengan telur itik atau ayam.
Kemudian, terciptalah beraneka resep olahan yang selanjutnya bernama Kue Roti Kariang, Kue Jari, Kue Dorong, Kue Arai Pinang, Kue Karambia. Semuanya memiliki rasa yang gurih dan enak.
Sadar akan potensi ekonominya, banyak warga mulai tertarik dan ikut memproduksinya.
Awalnya, rasa olahan itu masih hambar belum memakai gula pemanis. Setelah diberi pemanis, maka kue ini tambah laris dan mulai terkenal.
Salah satu khasnya, proses membuat kue ini berawal dengan menumbuk beras atau pulut lewat kincir air hingga menjadi tepung. Biasanya, yang menumbuk adalah kaum ibu-ibu.
Setelah jadi tepung dengan aneka resep. Kemudian lanjut pencetakan dengan tangan atau alat bantu. Saat semuanya selesai, barulah digoreng hingga rampung.
Dalam perkembangannya, produk olahan ini berhasil menembus pasar lokal.
Tahun 1942, Jepang masuk ke Agam. Untuk mengenang peristiwa ini, warga lokal kemudian mengembangkan lagi jenisnya, tambahannya ada Kue Ranjau dan Kue Sakura.
Kue Cangkiang kemudian juga berkembang menjadi lebih dari 10 jenis. Kekinian, Kue Jari mulai jarang karena rumitnya cara pengolahan.
Periode 1950-1990an, hampir semua penduduk Cangkiang berprofesi sebagai pembuat kue.
“Biasanya kompor warga selalu menyala hingga malam karena membuatnya butuh proses yang panjang,” ungkap salah seorang warga, Rizal St Mangkuto, diperharui 19 Maret 2023.
Kini, sebutnya, jumlah pembuat kue terus berkurang karena minimnya minat generasi muda serta harga bahan baku yang terus melambung.
“Jumlah pembuat kue saat ini hanya belasan, kalau dahulu hampir semua penduduk memproduksinya,” kata Mangkuto.
Kendati demikian, kue ini masih bertahan di sejumlah pasar tradisional yang ada di Agam Timur.
(*)