KATASUMBAR – Setiap tanggal 10 November selalu Republik Indonesia memperingati Hari Pahlawan.
Para pahlawan tersebut berjuang memperebutkan kemerdekaan dari tangan penjajah.
Masing-masing pahlawan tersebut, berjuang sesuai dengan keahliannya.
Dalam perjuangannya, sebagian ada yang diasingkan bahkan dimasukkan ke penjara.
Diantara pahlawan nasional, ada yang berasal dari Sumbar. 2 diantaranya pahlawan nasional dari Sumbar tersebut merupakan perempuan hebat yang menginspirasi. Simak ulasannya.
1. Rohana Kudus
Rohana Kudus lahir di Kotogadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 20 Desember 1884.
Rohana Kudus merupakan perempuan pertama yang menekuni profesi wartawan.
Rohana Kudus mendirikan koran Soenting Melajoe bersama Pemimpin Warta Berita Mahyuddin, Datuk Sutan Maharajo.
Kementerian Sosial Republik Indonesia menetapkan Rohana Kudus, jurnalis pertama asal Sumatera Barat, sebagai Pahlawan Nasional pada 2019.
Gelar tersebut berdasarkan pertemuan dewan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan dengan Presiden Joko Widodo. Penobatan gelar dilakukan di Istana Negara pada 8 November 2019.
Rohana Kudus mempunyai nama kecil yaitu Siti Rohana yang merupakan anak dari pasangan Moehammad Rasjad Maharadja Soetan dengan Kiam (Fitriyanti,2001:17).
Keluarga Muhammad Rasjad dianugerahi 6 orang anak, yaitu Siti Rohana, Ratna Kasian, Radena, Nurzamharis, Buyung, dan M. Ruskan.
Sejak kecil, ia selalu semangat dalam kesehariannya dan merupakan gadis yang sangat lincah. Rohana tinggal di lingkungan yang bersahabat dan mendukungnya untuk maju.
Lingkungan keluarganya sudah terbuka dengan adanya pendidikan, terlihat dari ayah Rohana yang bekerja sebagai seorang jaksa.
Keluarga Rohana termasuk dalam keluarga terpandang di Kota Gadang. Berdasarkan garis keturunan, ayah Rohana merupakan cucu dari Datoek Dinagari dari Puak Kato yang merupakan seorang jaksa pertama di Bukittinggi
Dalam hal pendidikan, Rohana tidak mengenyam bangku sekolah. Walau demikian, ayah Rohana sangat memperhatikan kemajuannya dengan mengajarnya membaca.
Rohana juga diajar untuk dapat membaca Al-Quran yang dalam budaya masyarakat Minang mayoritas beragama Islam, pelajaran pertama yang diterima seorang anak adalah belajar membaca Al-Quran. Ibu Rohana meninggal dunia tahun 1887, pada saat itu Rohana berusia 17 tahun.
Sepeninggalan ibunya, ayah Rohana menikah lagi dengan Rabiah, seorang anak Jaksa di Bonjol. Rabiah ini, adalah ibu dari Sutan Syahrir. Kemudian ayahnya pindah ke Medan, Rohana tidak ikut pindah bersama ayah dan ibunya yang baru, tetapi memilih pulang ke kampung Kotogadang dan tinggal bersama neneknya, yaitu Sini Tarimin.
Bersama nenek inilah Rohana menggali pelajaran menyulam dan menjahit, karena waktu itu itu neneknya seorang pengerajin terkenal dikampung Kotogadang.
Sementara dalam pelajaran lain, Rohana tetap otodidak dan banyak membaca buku. Rohana kecil memikat hati pasangan suami istri Adiesa dan Lebi Rajo Nan Sutan, sehingga ia diangkat menjadi anak. Rohana juga mendapat keterampilan menjahit dari orangtua angkatnya. (Fitriyanti 2001:29)
Rohana hidup dalam lingkungan yang menganggap menyekolahkan anak perempuan adalah hal yang sia-sia. Akan tetapi, karena kecintaan pada ilmu pengetahuan, ia pun mencoba mengumpulkan teman-temannya untuk belajar membaca dan menulis.
Perkumpulan membaca dan menulis ini dianggap sebagai sekolah rintisan Rohana yang didirikan pada tahun 1892 ketika Rohana berumur 8 tahun.
Rohana menikah pada tahun 1908 di usia 24 tahun dengan Abdul Kudus yang bergelar Pamuncak Sutan Putera St. Dinagari Laras IV Kota. Setelah menikah,Rohana tetap setia memberikan pengajaran kepada kaum perempuan yang ingin berkembang mewujudkan mimpi mereka.
Peran Rohana Kudus dalam Bidang Pendidikan dan Jurnalistik
Roehana sukses mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada tanggal 11 Februari 1911 yang diberi nama “Sekolah Kerajinan Amai Setia”
(Fitriyanti, 2001:58).
Maksud didirikan KAS ini adalah mengangkat derajat perempuan Melayu di Minangkabau dengan mengajari perempuan melalui: 1) menulis membaca, 2) berhitung, 3) urusan rumah tangga, 4)agama, akhlak, 5) kepandaian tangan, 6) jahit menjahit, 7) gunting menggunting, 8) sulam menyulam,dll (Jaya, 1980:38).
Banyak sekali rintangan yang dihadapi Rohana dalam mewujudkan cita-citanya. Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan penuh dengan benturan sosial menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Kotogadang, bahkan fitnahan yang tak kunjung menderanya seiring dengan keinginannnya untuk memajukan kaum perempuan.
Namun gejolak sosial yang dihadapinya justru membuatnya tegar dan semakin yakin dengan apa yang diperjuangkannya.
2. Rasuna Said
Rasuna Said merupakan pejuang kemerdekaan, terutama dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
Ia merupakan orator ulung yang mengkritik pemerintah kolonial Belanda hingga dijuluki singa betina. Rasuna Said meninggal pada tanggal 2 November 1965 di Jakarta.
Usulan gelar Pahlawan Nasional Rasuna Said disahkan pada tanggal 13 Desember 1974 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No 084/TK/Tahun 1974.
Rasuna Said lahir dan tumbuh dilingkungan keluarga yang cukup terpandang. Ayahnya, Haji Muhammad Said atau yang kerap disapa Haji Said saat masih muda merupakan seorang aktivis pergerakan di Sumatera Barat.
Haji Said bersama-sama saudaranya mendirikan sebuah perusahaan keluarga yang diberi nama C.V. Tunaro Yunus.
Kesibukan Haji Said dalam mengurus usahanya, membuatnya tidak punya banyak waktu untuk mengasuh putrinya.
Rasuna Said pun akhirnya sejak kecil dititipkan di keluarga pamannya atau kakak Haji Said.
Secara penampilan, puteri Haji Said ini memakai baju kurung model Minang disertai kain batik panjang, serta tidak lupa kerudung yang disematkan dengan peniti dengan rapi, dirasa sudah cukup baginya.
Rasuna Said memutuskan untuk menikah saat usianya memasuki angka sembilan belas yakni pada tahun 1929. Pemuda pilihannya adalah Duski Samad.
Pihak keluarga paman Rasuna Said sempat menentang pernikahan ini lantaran status sosial yang berbeda.
Laki-laki ini memang dikenal sebagai pemuda yang taat pada agama
Islam dan pandai, namun ia sangat miskin.
Mereka akhirnya tetap menikah hingga dikaruniai dua orang anak, yakni Darwin dan Auda Zaschkya Duski. Darwin meninggal dunia saat masih kecil, sehingga tinggal Auda anak satu-satunya.
Kurangnya komunikasi dan pertemuan dengan suami, membuat Rasuna Said dan Duski Samad memutuskan untuk bercerai.
Keduanya sibuk dalam hal pergerakan
masing-masing. Pasca perceraiannya, Rasuna Said masih disibukkan dengan berbagai kegiatan politik dan pendidikan yang diikutinya.
Ia sempat mengalami suatu peristiwa di organisasi yang membuatnya kecewa dan terpukul, hingga memutuskan untuk pindah ke Medan, Sumatera Utara.
Rasuna Said akhirnya menikah untuk kedua kalinya dengan Bairun AS pada tahun 1937.
Pernikahan ini tidak berlangsung lama
dan diakhiri dengan perceraian, mereka pun belum dikaruniai anak.
Hal ini rupanya telah menjadi kesepakatan bahwa pernikahan tidak menjadi penghalang kegiatan mereka sebagai pejuang.
Perjuangan Hajjah Rangkayo Rasuna Said Pada Masa Kolonial (1926-1945).
Peran Hajjah Rangkayo Rasuna Said di Bidang Organisasi
Rasuna Said selama masa pendudukan Belanda hingga Jepang aktif berkecimpung dalam beberapa organisasi.
Rasuna Said mengawali karir politiknya pada tahun 1926 dengan bergabung dalam Sarekat Rakyat. Sarekat Rakyat waktu itu memang banyak menarik minat kalangan muda Minang. Rasuna Said saat itu duduk dalam kepengurusan sebagai penulis atau disebut sekretaris, cabang Maninjau.
Rasuna Said memiliki minat dan pengetahuan yang tinggi akan dunia politik. Rasuna Said memilih masuk organisasi Persatuan Muslimin Indonesia (PMI atau Permi) pada tahun 1930.
Permi didirikan oleh perhimpunan “Sumatra Thawalib” atau murid-murid Sumatera dibawah naungan Sekolah Thawalib.
Rasuna Said dengan demikian menjadi anggota dari dua organisasi yang berbeda yaitu Sarekat Rakyat dan Permi.
Ia dikenai peraturan disiplin partai karena menjadi anggota diluar Sarekat Rakyat. Ia pun harus memilih salah satu, kemudian diputuskan bahwa ia tetap menjadi anggota Permi, dengan kata lain keluar dari PSII.
Rasuna Said aktif memberikan kursus-kursus seperti berpidato dan latihan berdebat. Berkat kepiawaiannya, Rasuna Said menjadi satu-satunya anggota perempuan yang mendapat julukan “Singa Betina”. Permi mengadakan rapat umum di Payakumbuh pada tanggal 19 November 1932.
Rasuna Said yang berada di sana berkesempatan untuk memberikan pidato. Ia secara terus terang menerangkan tindakan yang dilancarkan penjajah untuk memperbodoh dan memiskinkan bangsa Indonesia, serta menanamkan jiwa perbudakan yang menyebabkan rakyat menjadi sangat menderita, malas, dan tidak bertanggung jawab.
Ia kemudian dituduh telah menghasut dan mengintimidasi rakyat untuk mengadakan pemberontakan serta menanamkan rasa benci terhadap kolonialis Belanda.
Rasuna Said pun dikenakan tuduhan melanggar artikel 153 tentang larangan berbicara di muka umum atau yang disebut spreekdelict. Ia dipenjara satu tahun dua bulan di penjara Bulu, Semarang, Jawa Tengah.
Pasca keluar dari penjara dan Permi bubar, Rasuna Said pindah ke Medan. Perjuangannya kembali menyala saat Jepang mulai berkuasa.
Ia kembali lagi ke Sumatera Barat dan bergabung dalam Pemuda Nippon Raya.
Ia kemudian turut andil pula dalam Giyûgun atau tentara sukarela sebagai seksi wanita yang bertugas di bagian
logistik.
Rasuna Said sebelum bergabung dalam KNIP, ia mengikuti pembentukan KNID-SB pada tanggal 31 Agustus 1945.
Pembentukan lembaga ini merupakan wujud pengakuan rakyat Sumatera pada umumnya, terhadap proklamasi kemerdekaan dan kedua pemimpinnya, Soekarno dan Hatta. Anggota KNID-SB seluruhnya berjumlah 41 orang.
Peran Hajjah Rangkayo Rasuna Said di Bidang Pendidikan
Rasa kepedulian Rasuna Said pada dunia pendidikan mulai tertanam saat dirinya menjadi murid di Sekolah Diniyah.
Sekolah tersebut memiliki tradisi dimana setiap murid harus belajar untuk mengajar murid-murid di tingkat bawahnya. Rasuna Said saat berada di kelas lima dan enam, diberi tugas untuk mengajar di kelas adik tingkatnya.
Rasuna Said merupakan salah satu pengajar di Sekolah Diniyah Putri. Pandangan Rasuna Said mengemukakan bahwa setidaknya
seorang pelajar perlu dilengkapi dengan berbagai macam kepandaian untuk mereka yang akan berkecimpung dalam pergerakan.
Pendidikan politik penting untuk murid-murid sebagai upaya keluar dari belenggu penjajah. Rahmah El Yunusiyah merasa cemas dengan perilaku murid-muridnya pasca ajaran politik yang diberikan Rasuna Said.
Tidak sedikit murid-murid yang menggandrungi dan terpengaruh dengan pola pikir Rasuna Said.
Beberapa tokoh yang disegani akhirnya membuat diskusi yang memutuskan agar Rasuna Said dipindahkan dari Sekolah Diniyah Putri.
Perjuangan Rasuna Said tidak sepenuhnya berhenti disini, dirinya memberikan Kursus Pemberantasan Buta Huruf dengan nama Sekolah Menyesal, membuka Sekolah Thawalib kelas Rendah di Padang dan
mengajar di Sekolah Thawalib Puteri, serta memimpin Kursus Putri dan Kursus Normal di Bukittinggi.
Pasca terjadi perselisihan pendapat dan bubarnya Permi di tahun 1937, Rasuna Said memilih pergi ke Medan, Sumatera Utara.
Ia mendirikan sekolah yang diberi nama Perguruan Puteri. Lembaga pendidikan ini diperuntukkan khusus bagi perempuan.
Peran Hajjah Rangkayo Rasuna Said di Bidang Jurnalistik
Rasuna Said bergabung dalam kegiatan kepenulisan atau jurnalistik saat menempuh pendidikan di Islamic College. Ia terpilih menjadi pimpinan redaksi atau pimred sebuah majalah. Majalah ini diberi nama majalah “Raya”.
Rasuna Said memutuskan untuk pergi
ke Medan pasca bubarnya Permi. Ia menuangkan bakat jurnalistiknya
dengan menerbitkan sekaligus sebagai pimpinan redaksi sebuah majalah bernama Menara Poetri. Majalah ini berdiri pada tahun 1937 dengan fokus bahasan tentang keputerian dan keislaman.
Sumber: scribd.id dan uny.ac.id
*
Silahkan bergabung di Grup FB SUMBAR KINI untuk mendapatkan informasi terupdate tentang Sumatera Barat.
****
Dapatkan info berita terbaru via group WhatsApp (read only) KATASUMBAR / SUMBAR KINI (Klik Disini) 😊
*
Suscribe YOUTUBE KATA SUMBAR untuk mendapatkan informasi terbaru dalam bentuk video.