KATASUMBAR – Minangkabau dan Tionghoa memiliki kedekatan secara kebudayaan. Hal ini dipengaruhi oleh migrasi bangsa Cina ke Sumbar.
Migrasi bangsa Cina ke tanah Sumatera Barat ini sejatinya dimulai dari awal abad 17, tepatnya pada era 1630-an.
Indonesianis asal Inggris, Christine Dobbin, ketika meneliti budaya Minangkabau pada awal 1980-an menemukan bukti tersebut.
Dimana tanah Pariaman adalah lokasi pertama yang didatangi bangsa Cina ketika bermigrasi ke Sumbar, lewat jalur perdagangan.
“Kapal-kapal dagang etnis Tionghoa merapat di Pariaman termasuk dari agen dagang mereka di Banten untuk mencari rempah dan garam.”
“Mereka dilaporkan sudah membangun usaha di Pariaman sejak 1633,” tulis Dobbin dalam Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy Central Sumatra 1784-1847.
Pola migrasi yang dibawa para perantau Cina ini membawa kesamaan sifat dan kebiasaan terhadap orang-orang Minangkabau.
Seperti beberapa di antaranya etos berdagang, cepat beradaptasi dengan kehidupan lokal, serta kemiripan latar sosial budaya.
Hal itu pula yang membuat etnis Tionghoa mudah diterima oleh penduduk suku Minangkabau pada masa awal kedatangannya.
Di sisi lain, menurut dosen sejarah Universitas Negeri Padang, Erniwati, penambahan jumlah penduduk etnis Tionghoa dari masa ke masa turut disebabkan oleh kondisi alam.
Salah satu faktor terbesarnya adalah terjadi ketika ada perubahan siklus muson setiap enam bulan.
Dalam bukunya Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatra Barat, Erniwati menyebut, setelah siklus muson berbalik arah ke daratan Asia.
Kondisi itu lah yang kemudian membuat saudagar-saudagar Tionghoa akan balik ke negaranya.
Namun tak sedikit pula dari etnis Tionghoa yang akhirnya memutuskan menetap dan melakukan kawin campur dengan masyarakat setempat.
Mereka kemudian membentuk sebuah identitas lokal baru yang unik dan di kemudian hari memperkaya khasanah budaya Minangkabau.
Bahasa Minang dari Bahasa Cina
Seperti dikutip dari Indonesia.go.id, dalam berkomunikasi, mereka banyak menyisipkan kosa kata bahasa ibu ke dalam bahasa tutur sehari-hari.
Beberapa kata yang dipakai pun mempengaruhi masyarakat lokal dan menghasilkan bahasa Minang Pondok.
Contohnya cidang atau cici gadang untuk menyebut perempuan lebih tua. Cici artinya kakak perempuan dan gadang dalam bahasa Minang adalah besar.
Ada lagi batok dalam dialek Tionghoa yang berarti batuk, meski orang Minang melafalkannya sebagai batuak.
Begitu pula ketika air diucapkan sebagai aek oleh para penutur Minang Pondok ketika masyarakat Minangkabau menyebutnya sebagai aia.
Tak hanya masyarakat Minangkabau yang dapat menerima orang-orang Tionghoa ke dalam kehidupan di Ranah Minang.
Hal serupa juga telah membawa masyarakat Tionghoa khususnya kelompok pedagangnya kehadirannya disambut kolonial Belanda.
Mereka mendapatkan beberapa kemudahan di sektor perniagaan dan menciptakan ekosistem dagang yang lebih maju di pantai barat dan tengah Sumatra.
Itu ditandai dengan mulai derasnya kedatangan kapal-kapal dagang dari Persia dan India selaku relasi usaha pedagang Tionghoa Padang.(*)
*
Silahkan bergabung di Grup FB SUMBAR KINI untuk mendapatkan informasi terupdate tentang Sumatera Barat.
****
Dapatkan info berita terbaru via group WhatsApp (read only) KATASUMBAR / SUMBAR KINI (Klik Disini) 😊
*
Suscribe YOUTUBE KATA SUMBAR untuk mendapatkan informasi terbaru dalam bentuk video.